Menilik Problematika UN

Ujian-NasionalUN (Ujian Nasional) telah menjadi sesuatu yang sakral sekaligus menyeramkan bagi sebagian besar pelajar di negeri ini. Betapa tidak, seremonial tahunan bagi pelajar tingkat akhir tersebut akan menjadi penentu ‘nasib’ sekaligus hukuman telak bagi mereka yang kurang beruntung, sehingga wajar saja jika pada hari pengumuman kelulusan ada yang berpesta ria dan ada pula yang menangis, pingsan bahkan beberapa diantara ‘korban’ UN yang ingin mengakhiri hidupnya.

Itulah realita yang selalu menghantui setiap pelajar di negeri ini, apalagi UN terlanjur menjadi bagian dari penyelenggaraan pendidikan berdasarkan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Belum lagi ketika menoleh ke masa lalu, pemerintah Orde Baru memang telah mewariskan proyek tahunan tersebut yang dulunya dikenal dengan istilah EBTA. Seiring berjalannya waktu istilah ini pun sudah beberapa kali berganti nama, mulai dari EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional), UAN (Ujian Akhir Nasional) dan UN (Ujian Nasional). Penggantian nama tersebut menunjukkan juga perubahan formula yang dipakai, namun dunia pendidikan tetap saja diselimuti berbagai persoalan yang membelit dan berdampak pada kualitas lulusan dan pendidikan secara keseluruhan.

Standar Kelulusan?

Ketetapan pemerintah yang membuat UN sebagai standar kelulusan membuat UN seolah menjadi ‘final boss’ bagi setiap pelajar yang mau meneruskan pendidikannya. Padahal seharusnya UN bukan standar untuk menentukan kelulusan siswa, melainkan sebagai alat pemetaan atau evaluasi kemampuan setiap siswa, jika ternyata hasil evaluasinya buruk, maka perlu mencari tahu di mana letak masalahnya. Namun sepertinya pemerintah ‘ngotot’ menjadikan UN sebagai ‘ritual’ formalitas yang wajib dijalani oleh setiap pelajar demi mendapat ‘pengakuan’ dari tempat mereka menuntut ilmu.

Jika di waktu yang akan datang UN tetap akan dijadikan standar kelulusan, maka ada syarat pokok yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yakni semua harus sama rata dan sama rasa. Semua sekolah di Indonesia harus dibangun dengan sarana dan prasarana yang sama, semua siswa harus diajari materi yang sama, dan semua tenaga pengajar harus memiliki kompetensi yang sama. Tentu orang awam pun bisa menilai bahwa ada perbedaan yang signifikan antara siswa di kota dan di pelosok desa, begitu pula jika membandingkan sekolah yang ‘diunggulkan’ dengan sekolah ‘kelas bawah’ tentu ada perbedaan yang sangat mencolok dalam segala hal. Lalu mengapa pemerintah ‘memaksakan’ standar kelulusan yang seragam, padahal fasilitas pendidikan yang disediakan juga berbeda?

Jika sedikit melirik sistem pendidikan di negeri tetangga, Singapura menerapkan kurikulum pendidikan yang sedikit mirip dengan kurikulum pendidikan di Indonesia, ada juga ujian nasional bagi semua siswa yang akan menyelesaikan atau melanjutkan studi ke jenjang berikutnya. Setiap siswayang duduk di kelas 4 Express atau kelas 5 Normal Academic harus mengikuti ujian nasional atau istilah Ordinary Level Test untuk menyelesaikan studi di tingkat Secondary School.

Cuma sedikit berbeda dengan UN di Indonesia, “O” Level Test di Singapura tidak terkesan menakutkan bagi para siswa karena ujian tersebut tidak dijadikan standar untuk menentukan kelulusan siswa. Siswa-siswi yang mendapat nilai di bawah standar minimum pun tetap lulus, karena menurut Pemerintah setempat, setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk melanjutkan pendidikan. Jika Singapura saja yang memiliki sedikit jumlah sekolah dan sangat memungkinkan untuk menyamaratakan kualitas dan sarana pendidikannya tidak menjadikan UN sebagai standar kelulusan, lalu mengapa pemerintah Indonesia yang memiliki ribuan sekolah masih memaksakan UN untuk menjadi standar penilaian kemampuan setiap siswa?

Permasalahan UN

Setiap tahun selalu saja terdengar berita kecurangan dalam pelaksanaan UN. Mulai dari kebocoran soal, kunci jawaban beredar, pemakaian ponsel, pembentukan tim sukses, hingga soal tertukar dan kekurangan lembar jawaban. Masalah dan kecurangan tersebut tentu berpangkal dari kebijakan pemerintah yang menjadikan UN sebagai standar kelulusan sehingga banyak siswa yang menghalalkan segala cara demi kelulusan. Begitu pun dengan soal UN yang berupa pilihan ganda, tidak bisa mencerminkan kemampuan siswa, karena soal pilihan ganda sangat mudah untuk mendapatkan jawaban, mulai dari kode ‘morse’ dengan teman di sebelah, berbagi jawaban lewat tissu, hingga sekedar hoki-hokian. Singkatnya, tergantung keberuntungan bukan kemampuan.

Hingga saat ini UN masih terus dipermasalahkan, pro dan kontra terus terjadi menjelang atau pasca ujian, apalagi jika melihat berbagai permasalahan di dalamnya, sebagian pihak pun menilai UN tidak perlu lagi, namun pemerintah masih saja melestarikan proyek tahunan tersebut meskipun menuai kontroversi. Oleh karena itu, alangkah bijaknya jika format UN yang meyeramkan bagi para pelajar, sedikit di modifikasi dan dengan tampilan yang lebih ‘menarik’ dan yang paling penting adalah tidak menjadikan UN sebagai standar kelulusan, sehingga pelajar tidak lagi merasa tertekan atau terhakimi ketika gagal dalam ujian nasional. Wallahu a’lam bisshawaab

*Pemerhati Pendidikan

*Pengurus International Student Society -National University of Singapore

About afdhal

Failure is the first step to success

Posted on April 14, 2014, in Uncategorized. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. Terimakasih sudah mau berbagi, semoga berkah. Aamiin….

Tinggalkan komentar