Mahasiswa

Mahasiswa

Menanti Idealisme Mahasiswa di Zaman Neolitikum Modern

A. Firdaus

Tentu masih nyantol di ingatan kita secuil pelajaran sejarah, konon katanya dahulu kala ada yang dikenal zaman Neolitikum, Megalitikum dan Mesolitikum atau lebih akrab dengan sebutan zaman batu. Para ahli sejarah menyebutnya zaman batu karena pada saat itu batu merupakan suatu yang sangat istimewa, segala sesuatu peralatan yang digunakan oleh manusia adalah dari batu, mulai dari kampak untuk menebang pohon sampai pada peralatan rumah tangga. Memasuki abad modern perlahan-lahan peradaban itu sudah ditinggalkan. Semua peralatan yang digunakan oleh manusia, lebih bersifat praktis dan fungsional. Dan seakan-akan batu bukanlah sebuah benda yang bermakna.

Beberapa bulan terakhir ini, fenomana zaman batu muncul lagi, seolah-olah kebanggan manusia di zaman prasejarah itu di bangkitkan lagi. Tak heran jika hujan batu sering terjadi disudut-sudut kampus, di jalan protokol, di depan gedung instansi pemerintahan dan tempat keramaian lainnya. Namun sungguh sangat disayangkan batu-batu tersebut bukan lagi dimanfaatkan untuk kehidupan manusia layaknya di zaman batu, tapi justru sebaliknya. Ya, mungkin inilah dimulainya masa kejayaan zaman batu lagi, yaitu suatu “zaman Tawuranitikum”, dimana batu kembali dianggap menjadi sesuatu yang penting bagi manusia, khususnya di kalangan mahasiswa. seakan benda ‘bertuah’ itu menjadi sesuatu yang solutif praktis untuk menyelesaikan masalah dan tidak jarang digunakan sebagai sarana mengungkapkan ekspresi kekesalan dan menyalurkan aspirasi yang terpendam.

Mahasiswa dan Zaman Batu

Seandainya pelopor kebangkitan zaman batu modern ini adalah orang yang punya ‘keterbelakangan mental’, tentu saja ini bukanlah sebuah masalah yang kontroversial, namun sayangnya aktor dan sutradara dari pentas hujan batu ini adalah pemegang tongkat estafet ‘terbaik’ bangsa ini, yakni mahasiswa.

Berbicara tentang action mahasiswa, merupakan salah satu  wacana yang laris dan mendapat respon sekaligus kontradiktif dalam pemikiran masyarakat saat ini, bahkan setiap waktu selalu mencuat ke permukaan lalu gencar diperbincangkan orang, baik  melalui media tulisan, reportase, forum seminar, maupun dialog interaktif secara formal. Mulai dari para akademisi, politisi, negarawan maupun rohaniawan tak urung ketinggalan. Menurut sebagian orang, prilaku mahasiswa dianggap sebagai sebuah diskursus dan tidak ada persoalan, tetapi pada ranah empirik-sosiologis mungkin sekali masih banyak persoalan yang belum terselesaikan, artinya teks yang bersifat interpretable itu masih membelenggu generasi terbaik bangsa ini.

Mahasiswa dengan sederet titel sosial mulai dari agent of change dan social control. Mahasiswa merupakan insan akademis yang mempunyai tingkat intelektualitas tinggi dimana budaya ilmiah selalu menjadi alternatif dalam pemecahan masalah. Bahkan, menurut sebagian besar masyarakat menyebut mahasiswa adalah orang yang serba bisa, kaum elit dan terhormat dibanding dengan kaum muda lainnya. Dengan kelebihan dan keterbatasan yang mereka miliki, secara perlahan namun pasti mampu merubah keadaan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Mahasiswa, adalah kekuatan bangsa karena kemampuan menghidupkan sebuah konser kehidupan yang baru, ditengah kebisuan dan ketakutan yang mencekam. Singkatnya, mahasiswa adalah sosok yang idealis.

Namun citra mahasiswa sekarang mulai tergeser akibat prilakunya sendiri, kita pun tidak bisa menutup mata dan telinga dari sisi lain sikap mahasiswa. Di balik deretan titel dan penghargaan terhadap mahasiswa teryata tidak semuanya berbuah manis dan sesuai harapan. Di tengah tepuk tangan yang meriah dan sambutan yang membahana akan kesuksesan yang telah diukir masih menyisipkan kejanggalan. Maraknya pemberitaan melalui media cetak maupun elektronik menunjukkan betapa ironisnya prilaku mahasiswa akhir-akhir ini. Di beberapa kampus di negeri ini dari Sabang sampai Merauke banyak sekali terjadi tawuran antar mahasiswa.

Kita menyadari bahwa mahasiswa adalah sosok yang padat dengan keinginan, kehendak dan idealisme yang tinggi sekaligus emosi yang meledak-ledak. Dan mungkin itu yang menjadi kekuatan sekaligus kelemahan yang dimikinya. Berbagai macam alasan mahasiswa melakukan aksi seperti ini mulai dari mengkiritisi atau menolak kebijakan pemerintah yang kurang representatif, kebijakan kampus yang kurang populis bagi mahasiswa. Namun tak jarang demontrasi ini berujung pada bentrokan dalam beragam skala. Dan tak jarang aksi demonstrasi ini  berujung bentrokan antar mahasiswa dengan aparat.

Selain demonstarasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat. Kejanggalan dilakukan pula oleh mahasiswa yakni tawuran yang terjadi dikalangan mereka, dan yang paling parah tawuran ini bermula dari dari konflik personal yang sepele kemudian dibawa ke dalam konflik kelompok, hal ini dipicu oleh adanya arogansi kelompok (fakultas) yang dibangun diatas konsep ‘kebersamaan’ yang terkesan kaku dan dipaksakan, sehingga setiap kelompok pun saling berbangga-bangga dan menyombongkan diri. Pada akhirnya ‘awan mendung’ pun pecah menjadi hujan batu. aksi saling lempar batu ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar untuk menjaga idealisme kelompok mereka. Namun sebagi sosok jenius religious, seharusnya mahasiswa mngingat pesan-pesan yang pernah disebutkan oleh Rasulullah dari Iyadh bin Himar At Taimi: “ Hendaknya kalian rendah diri, sehingga kalian tidak berbuat zhalim kepada yang lain dan tidak menyombongkan diri terhadap mereka”. (HR. Muslim).

Mahasiswa Dalam Lintasan Sejarah

Namun ada baiknya kita menengkok ke belakang dan belajar dari bentangan waktu yang telah kita lalui. Tidak dapat dipungkiri faktanya, bahwa mengawali dan mengakhiri pergantian abad 20, mahasiswa telah memelopori perubahan. Mereka, telah mencurahkan pikiran dan tenaga untuk mewujudkan perubahan akan kondisi yang jauh lebih baik.

Sejarah mencatat bahwa mahasiswa mempunyai peranan penting dalam perjalanan sejarah negeri ini. Mahasiswa membawa perubahan banyak terhadap bangsa ini. Runtuhnya rezim Sukarno yang totaliter, tumbangnya rezim Suharto yang otoriter juga oleh gerakan mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa aktivitas dan gerakan mahasiswa selalu dilandasi oleh kekuatan ‘moral force‘ dan tidak berlandaskan kepentingan.

Perubahan yang terjadi di Indonesia tidak lepas dari partisipasi aktif, positif dan konstruktif dari mahasiswa. Apapun kondisi kekinian yang tengah berlangsung dilihat dari sudut pandang manapun, bahwa mahasiswa adalah the most important society. Tidaklah berlebihan bilamana masa lalu, kini dan akan datang adalah milik mahasiswa dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimilikinya. Dengan cara sesederhana apapun, bila kita melakukan penelusuran, akan terungkap bahwa hampir semua pemimpin adalah mantan mahasiswa.

Namun alangkah bijaknya jika mahasiswa sebagai kaum intelek mengembalikan akar konflik/perbedaan tersebut pada petunjuk agama (baca: Islam), sebagaimana yang diserukan oleh Allah dalam QS. An Nisaa’: 59 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan pemimpin di antara kalian. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”.

Secara konsepsional, doktrin Islam yang utama adalah penekanannya pada ajaran perdamaian. Kata Islam sendiri bermakna damai, aman dan selamat. Sebuah simbol bahwa muara akhir dari ajaran ini adalah perdamaian. Tetapi memang dalam sejarahnya, konsepsi tersebut tidak selalu seiring dengan perjalanan umat Islam, karena pada kondisi tertentu diperintahkan untuk berperang. Pada awal-awal lahirnya Islam, tidak kurang dari enam kali peperangan diikuti oleh Rasulullah, kendati dengan tujuan untuk menegakkan keadilan ekonomi, kesetaraan manusia dan bertahan dari penyerangan. Hal ini ditegaskan dalam QS. An Nisaa’: 75: “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan dan anak-anak yang semuanya berdo’a: Ya Tuhan Kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dan pertolongan dari-Mu”

Demikian pula pada masa Abu Bakar As Siddiq, Umar bin Khattab, Usman Bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Peperangan yang dilakukan oleh mereka umumnya bermotifkan ekonomi, seperti penumpasan terhadap kelompok pembangkang yang enggan membayar zakat di masa Abu Bakar; pelebaran wilayah Islam, seperti yang terjadi pada masa Umar bin Khattab.

Akhirnya, Tiada perubahan tanpa adanya kebijakan, Namun tentunya kita juga berharap, mahasiswa sebagai agen perubahan dapat mengkritisi atau menolak sekalipun kebijakan pemerintah, tanpa harus memunculkan bentrokan, pengrusakan yang dapat menggangu situasi dan aktivitas masyarakat banyak. Semoga citra buruk mahasiswa yang dicap sebagai pelopor kebangkitan zaman neolitikum modern, dimana setiap masalah lebih praktis dihadapi dengan batu  dapat diperbaiki kembali saat ini menuju sebuah harapan dan cita-cita menyandang pridikat mahasiswa ideal yang sesungguhnya. Wallahu A’lam

“Idealism is behavior or thought based on a conception of things as they should be or as one would wish them to be idealization”

======================================afdhal======================================

RELEVANSI PENGKADERAN DAN IDEALISME MAHASISWA

Oleh: A.Firdaus

Seorang bocah suku Thonga yang telah berusia antara 10 hingga 16 tahun, dia dikirim oleh orang tuanya ke ‘curcumcision school’ yang diselenggarakan tiap 4 atau 5 tahun sekali. Ritual inisiasi ini dimulai dengan berlarinya setiap bocah dalam garis panjang yang di sana telah berbaris para laki-laki dewasa yang akan memukuli mereka dengan tongkat kayu di sepanjang perjalanan. Di akhir perjalanan, baju sang bocah akan dilucuti dan rambutnya dicukur habis. Dia harus menjalani tiga bulan masa inisiasi untuk menjalani enam ujian utama: dipukuli (oleh laki-laki dewasa yang telah dilantik), bertahan dalam cuaca dingin tanpa baju dan selimut, kehausan, makan makanan yang tidak enak, dihukum dengan meremukkan jari ketika ketahuan melanggar aturan, dan terancam tewas selama menjalani ritual. Suku tertua di Afrika Selatan ini masih memelihara tradisi perploncoan untuk anak laki-laki yang ingin mendapat pengakuan sebagai seorang laki-laki dewasa. Sungguh mengerikan, tapi ini adalah sebuah kenyataan.

Penggalan cerita tersebut mengingatkan kita pada ritual tahunan yang ‘hampir mirip’  secara simbolik dengan ucapan ‘selamat datang’ kepada mahasiswa baru (baca:maba) yang biasa digelar di beberapa kampus di negeri ini.

Bulan ini adalah saat di mana para mahasiswa baru di banyak kampus mulai merinding hebat, Ospek sudah dekat. Orientasi studi dan pengenalan kampus yang dikenal dengan sebutan ‘ospek’ atau dengan kemasan istilah yang berbeda-beda memang pada umumnya identik dengan kekerasan, Ospek yang disebut-sebut sebagai pengkaderan maba telah banyak menuai kritik dan penentangan dari masyarakat kampus. Betapa tidak, wajah pengkaderan mahasiswa dari tahun ke tahun masih memprihatinkan. Hal ini bisa dilihat dari sistem pengkaderan yang yang dianut hingga hari ini. parasnya masih sangat “sederhana” dan “bersahaja” untuk konteks dunia yang semakin mengglobal. Bentakan, cemoohan, dan sesekali ’tappe’ tampaknya masih saja menghiasi wajah generasi penerus kita saat ini.

Sesuai dengan namanya, tujuan awal dari pengkaderan maba adalah untuk membantu mahasiswa baru mengenal program studi dan kampusnya? Iya, memang. Tapi konsep ospek yang dijalankan saat ini telah disetting, didesign dan dimodifikasi sedemikian rupa dari model pengkaderan yang sebenarnya.

Apa yang salah dari pengkaderan mahasiswa? Jika kita telusuri lebih dalam, ternyata semua itu berada pada wilayah paradigma (cara pandang). Selama ini para senior masih saja menggunakan gaya lama, dan terus melestarikan peninggalan mahasiswa terdahulu . Belum ada perubahan signifikan di sini, karena para pengkader itu masih menganggap warisan senior-seniornya bagaikan benda bertuah yang tidak boleh tidak, harus dilestarikan. Seharusnya kita belajar dari negara luar yang mengkader para mahasiswa barunya dengan memperkenalkan pada budaya akademik serta menjaga rasa aman mereka dalam belajar.

Memang inilah ironisnya pengkaderan. Di satu sisi, mahasiswa menganggap bahwa ide ’cerdas’nya layak untuk diaplikasikan pada mahasiswa baru, akan tetapi dalam perjalanannya ada saja ketimpangan di dalamnya. Seperti yang sudah sering terjadi bertahun-tahun silam. Ospek telah mengakibatkan maba cedera, cacat seumur hidup bahkan terenggut jiwanya secara ’terpaksa’. Ketika semua itu terjadi, siapa yang bertanggungjawab?

Melihat fenomena kekerasan yang terus mewarnai pengkaderan maba setiap tahunnya mengundang inspirasi para petinggi beberapa perguruan tinggi di Indonesia berinisiatif menghilangkan ospek yang diwarnai kekerasan tersebut.  Salah satu perguruan tinggi ternama di Makassar  yang telah menghilangkan ospek sejak tahun 2006 yang lalu menuai kritik habis-habisan hingga saat ini, tidak sedikit mahasiswa senior yang mengajukan argumen tentang mengapa ospek harus dihapuskan. Mereka memprotes kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak rektorat itu, karena dinilai mematikan lembaga mahasiswa. Sehingga dibalik kebijakan itu, masih saja ditemukan pengkaderan maba yang kurang lebih sama dengan sebelumnya.

Suatu masalah yang cukup krusial dalam pandangan masyarakat umum saat ini, ketika mahasiswa dengan lantang memproklamirkan anti penindasan, banyak kejadian penting yangn menorehkan garis horizon diatas nama mahasiswa itu sendiri, bahkan mahsiswa menempati posisi strategis di mata masyarakat yang dipandang sebagai sosok idealis dan akademis. Namun eksistensi mahasiswa perlu disoroti ketika mereka menjadi penggerak skenario atau bahkan jadi ‘sutradara’  dalam pentas kekerasan ini, seakan mengungkap keadaan mahasiswa terpatok dalam sistem yang terkungkung erat, tidak kreatif, dan cenderung pragmatis, sikap hedonis yang telah membudaya karena cenderung mengagung-agungkan budaya barat sebagai budaya yang ‘perfect’ cocok buat Indonesia.
Pengkaderan selama ini memang jarang yang lebih mengarahkan ke fungsi dan peran mahasiswa ideal sebagai Iron stock, agent of change, dan Moral force. Penekanan lebih ke arah bagaimana mereka menghadapi tantangan dan masalah serta mencari solusi atas semua masalah itu. Satu hal yang menarik kita renungkan, bukankah ketika kita menyambut kawan-kawan maba yang masih ‘lugu’ dengan warna kekerasan, diakui atau tidak, sebenarnya merupakan bentuk perlawanan terhadap nurani? Siapapun, sepanjang masih mengedepankan rasionalitas dalam berpikir, akan merasakan suatu pertentangan secara diametral dengan hati kecil mereka. Karena pada dasarnya mahasiswa menolak kekerasan, namun yang terjadi hanyalah bentuk-bentuk represif persuasif yang terjewantahkan dalam dalam kontinuitas keseharian mahasiswa.

Fenomena tersebut menambah daftar kewajiban kita untuk menambah pemahaman tentang pengendalian insting dengan akal, ilmu, dan iman. Kemudian mencoba merevisi atau mengganti format pengkaderan dengan yang lebih baik, yang dapat menunjukkan relevansi pengkaderan maba dengan lahirnya idealisme mahasiswa. Sedikitnya ada 4 point penting yang harus ditekankan pada pengkaderan maba untuk melahirkan mahasiswa yang ideal:
Pertama, materi life skill dan organisasi, fokus yang dibangun di sini adalah pengkaderan berbasiskan kesadaran. Karena yang perlu ditanamkan dari awal di benak maba adalah kesadaran pengenalan diri.  Juga perlu diperkenalkan organisasi. Jangan sampai mahasiswa hanya mentok pada bangku kuliah saja. Tentu beda seorang mahasiswa yang cerdas-organisatoris dengan mahasiswa yang pasifis. Materi ini lebih efektif daripada bentakan dan cemoohan yang tidak jelas. Bagaimana mungkin bisa jadi intelegensia kalau moralitas saja lemah.

Kedua, ketauladanan dari senior yang merupakan master plan mereka dalam menjajaki kehidupan baru di kampus. Senior yang baik adalah yang membimbing mabanya menjadi baik. Ia seperti seorang guru yang membantu sang murid mencapai cita-citanya. Masalahnya kemudian, masih ada beberapa kasus di lapangan yang para senior main hakim sendiri. Maba dibuat seperti mainan yang bisa diapakan saja. Lebih parahnya lagi, jika ‘pengkaderan’ ini sudah mengarah pada pemukulan fisik. Ini banyak terjadi. Mungkin karena sebuah ‘dendam’ yang tak tersalurkan di masa lalu, sehingga ketika masa yang dinantikan itu tiba, saat label senior telah melekat pada dirinya, maka junior menjadi sasaran empuk untuk ‘menyalurka hajat’ tak heran jika sesekali tendangan dianggap sesutu yang wajar sebagai ucapan selamat datang kepada mereka. Sungguh kasihan si maba yang malang itu, ingin maju malah kena tinju!

Ketiga, titik tolak untuk berubah, pengkaderan sebagai suatu proses untuk beradaptasi dan juga merubah pola pikir mahasiswa dari pola pikir siswa menjadi pola pikir mahasiswa yang katanya mahasiswa itu kritis. Di sini kita bisa menumbuhkan idealisme mahasiswa dengan menamamkan sikap disiplin yang bisa mereka terapkan dalam kehidupan sehari-harinya. ingat pengkaderan bukan hanya sebagai ajang untuk menciptakan kader suatu institusi tetapi sebagai ajang untuk mengubah pola pikir kader menjadi lebih baik dan dapat diterapkan selamanya bukan hanya pada saat dia berada di institusi itu.

Keempat, bersifat religius, jika format pengkaderan maba didasari oleh pemahaman agama (baca: Islam), maka akan terlahir kader-kader anak bangsa yang ideal, akan muncul sosok mahasiswa yang kritis, akademis, dan idealis. Dengan menjadikan Islam sebagai tiang awal kita untuk mengkader maka kekerasan tidak akan terjadi lagi.

Pengkaderan yang baik itu penting, bukankah manusia akan semakin termotivasi belajar jika ia dalam keadaan senang? Maka dari itu, alangkah baiknya juga para senior yang terhormat, yang memiliki segudang teori ilmu pengetahuan serta pengalaman, membawa mereka sampai ke gerbang penantiaannya.

Tentunya semua itu bisa terlaksana dengan jika dilandasi dengan spirit keikhlasan dalam dada. Jangan ada dendam kesumat dengan sebuah kedzaliam dan tindak kekerasan karena Allah telah menjelaskan kepada kita: ”Dan bagi orang-orang yang dzalim (pelaku kekerasan) itu tidak ada seorangpun pelindung dan tidak ada pula penolong baginya” (QS. Al Hajj: 71). Rasulullah Shallalahu ’alaihi wasallam juga pernah bersabda: ”Takutlah kalian pada kedzaliman, karena kedzaliman itu merupakan kegelapan pada hari kiamat”

Jika dulu pernah disakiti, maka lebih mulia membalas itu dengan cinta. Cinta yang tulus dari dasar jiwa akan membawa manusia pada kesadaran bahwa hidup haruslah berarti. Sunggu Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, dan Allah akan membalasnya. Wallahu A’lam bish Shawab. 

 

Tinggalkan komentar