Monthly Archives: April 2012

Mengapa Bukan Ayah Saja Yang Meninggal?

Kisah seorang anak yang menyadarkan kealpaan ayahnya

Dia anak yang masih tergolong bocah, duduk di bangku kelas 3 SD. Suatu hari ada Ustadz di kelasnya memotivasi para siswa untuk menjaga shalat jamaah shubuh. Tentunya, Shubuh merupakan sesuatu yg sulit bagi sang bocah untuk terbangun, namun sang bocah telah bertekad untuk menjalankan shalat shubuh di masjid. Lalu dengan cara bagaimana anak ini memulainya? Apakah dia membangunkan ayah atau ibunya? Dengan alarm?…bukan! Sang anak nekat tak tidur semalaman lantaran takut bangun kesiangan, semalaman anak begadang, hingga tatkala adzan berkumadang. Dia pun ingin segera keluar menuju masjid.

Tapi…tatkala ia membuka pintu rumahnya, suasana sangat gelap, pekat, sunyi, senyap…membuat nyalinya menjadi ciut. Tahukah anda, apa yang ia lakukan kemudian? Dalam kondisi seperti itu, sang bocah mendengar langkah kaki kecil dan pelan, dengan diiringi suara tongkat memukul tanah, Ya…ada kakek-kakek berjalan dengan tongkatnya. Sang bocah yakin, kakek itu sedang berjalan menuju masjid, maka ia pun mengikuti di belakangnya, tanpa sepengetahuan sang kakek. Begitu pun ketika ia pulang dari masjid.

Bocah itu menjadikannya sebagai kebiasaan, begadang setiap malam kemudian pergi dan pulang shalat shubuh dengan mengikuti kakek-kakek itu. Dia mengganti tidurnya setelah shubuh hingga menjelang waktu berangkat sekolah. Orang tuanya tidak mengetahui sama sekali kebiasaan anaknya itu, selain hanya melihat sang bocah lebih banyak tidur di siang hari dari pada bermain.Ini dilakukan sang bocah agar bisa begadang pada malam hari.

Hingga suatu hari, terdengar kabar olehnya bahwa kakek-kakek itu meninggal dunia. Sontak, si bocah menangis sesenggukan. Sang ayah heran… ”Mengapa kamu menangis, nak? Ia kan bukan kakekmu, bahkan dia bukan siapa-siapa kamu!” Saat si ayah mengorek sebabnya, sang bocah justru berkata, “kenapa bukan ayah saja yang meninggal?” “A’udzu billah…, kenapa kamu berbicara seperti itu?” kata sang ayah heran. Si bocah berkata, “Mendingan ayah saja yang meninggal, karena ayah tidak pernah memangunkan aku shalat Shubuh, dan mengajakkku ke masjid, Sementara kakek itu, setiap pagi saya bisa berjalan di belakangnya untuk pergi shalat berjamaah Shubuh di masjid.”

ALLAHU AKBAR! Menjadi kelu lidah sang ayah, hingga tak kuat menahan tangisnya. Kata-kata anak tersebut mampu merubah sikap dan pandangan sang ayah, hingga membuat sang ayah sadar sebagai pendidik dari anaknya, dan lebih dari itu sebagai hamba dari Pencipta Nya yang semestinya taat menjalankan perintah-Nya. Akhirnya Sang ayah rajin shalat berjamaah karena dakwah dari anaknya…

“Rabbana hablanaa min azwaajina qurrata a’yun waj’alna lil muttaqiina imaama..”

[Terjemah bebas Mamlakah al-Qashash al-waaqi’iyyah, by. Abu Umar Abdillah]

Dunia dan Bangkai Kambing

“Pada hari itu (kiamat) tidak bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang besih.” (QS. Asy Syu’ara: 88-89)

Dunia dan bangkai kambing? nyambung di mana? mungkin ada sebagian orang yang berpikir seperti itu ketika melihat judul tulisan ini. Kalau gak percaya baca aja tulisan ini sampai tuntas, maka anda akan menemukan titik temunya ada apa antara dunia dan bangkai kambing.

Senin sore beberapa pekan yang lalu, seorang teman dari Yaman datang ke kamar saya. Awalnya mungkin hanya sekedar bincang-bincang dan cerita-cerita biasa, tentang kuliah dan tentunya tentang Indonesia. Maklumlah yang saya ketahui dia adalah sosok yang sangat mengagumi Indonesia, entah mengapa? Yang jelas saya pernah dengar dia ingin sekali berkunjung ke Indonesia, tapi sayang visanya tidak ada. Dia sangat yakin kalau ‘Islam’ di Indonesia itu sangat bagus, negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, negara seribu pulau yang sangat indah, negara yang punya industri perfilman yang kreatif. Pokoknya banyak deh yang dia kagumi tentang Indonesia.

Selanjutnya dia minta izin untuk meng-copy file film Indonesia yang ada di laptop saya, karena memang dia adalah penggemar cerita film Indonesia. Kemudian dia minta tolong diambilkan hardisk dalam tasnya. Saat saya membuka tasnya saya melihat beberapa kepingan yang mirip dengan uang seratus-dua ratusan rupiah. Kemudian saya tanya tentang kepingan itu, ternyata itu adalah Dirham. Iya, jujur saja bahwa saya belum pernah melihat Dirham sebelumnya. Saya perhatiakan satu persatu kepingan itu, terbaca jelas dengan font arabnya satu, dua dan tiga dirham. Saya mengambil kepingan yang terkecil, ternyata itu adalah satu dirham. Lalu saya bertanya tentang nilainya jika di konnversi ke Dollar atau Rupiah karena memang dia paham juga nilai rupiah, ternyata 1 Dirham itu nilainya sekitar 41.500 Rupiah

Nah, melihat kepingan satu Dirham itu, saya jadi teringat hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang intinya menyebutkan bahwa kehidupan dunia ini tidak lebih baik dari seekor bangkai kambing yang cacat. Mengapa demikian? Iya, itulah dunia. 

Hakikat Dunia

Sesungguhnya, kehidupan dunia ini adalah kehidupan yang sementara dan sebentar. Kesenangan-kesenangan di dalamnya adalah kesenangan yang menipu, fana, tidak kekal, tidak sempurna, dan pasti akan berakhir. Semua yang hidup akan menemui kematiannya. Allah berfirman, ”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)

Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah pasar melalui sebagian jalan dari arah pemukiman, bersama dengan para sahabat yang menyertai beliau. Lalu beliau melewati bangkai seekor kambing yang telinganya cacat (berukuran kecil). Beliau pun mengambil kambing itu seraya memegang telinganya. Kemudian beliau berkata, “Siapakah di antara kalian yang mau membelinya dengan harga satu dirham?” Mereka menjawab, “Kami sama sekali tidak berminat untuk memilikinya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau kembali bertanya, “Atau mungkin kalian suka kalau ini gratis untuk kalian?” Mereka menjawab, “Demi Allah, seandainya hidup pun maka binatang ini sudah cacat, karena telinganya kecil. Apalagi kambing itu sudah mati?” Beliau pun bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya dunia lebih hina di sisi Allah dari pada bangkai ini di mata kalian.” (HR. Muslim).

Hadits tersebut menerangkan kepada kita betapa tidak ada nilainya kekayaan dunia semata jika  tidak disertai dengan keimanan. Oleh sebab itu sebanyak apa pun harta yang dimiliki oleh seseorang jika tidak dilandasi dengan keimanan kepada Allah dan rasul-Nya, maka di akherat harta itu tidak bermanfaat  bagi pemiliknya. Sebagaimana Allah ta’ala tegaskan hal ini dalam ayat (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- tidak bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89).

Sa’id bin Jubair bertutur, “Kesenangan yang menipu adalah apa saja yang melalaikanmu dari mencari akhirat. Adapun yang tidak melalaikanmu, maka itu bukan kesenangan yang menipu, tetapi kesenangan yang akan mengantarkan kepada kesenangan yang lebih baik lagi.”

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu pernah melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berbaring diatas tikar berserat dan membekas ditubuh beliau. Maka Ibnu Mas’ud menawarkan tikar yang lebih nyaman untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, apa jawaban Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Beliau bersabda, “Apa urusanku dengan dunia ini? Tidaklah aku dibandingkan dunia kecuali seperti orang yang bepergian yang berteduh di bawah pohon kemudian istirahat, dan pergi meninggalkannya.” (HR. At-tirmidzi, dan berkata, “Hadits hasan shahih.”

Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagi semua orang, dunia ini adalah tamu, dan harta itu adalah pinjaman. Setiap tamu pasti akan pergi lagi, dan setiap pinjaman pasti harus dikembalikan.”

Demikianlah kehidupan dunia, sangat remeh dalam pandangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Maka kita sebagai umat beliau, sudah semestinya mempunyai pandangan yang sama dengan beliau dalam meletakkan posisi dunia.

Akhirat Adalah Kehidupan Sebenarnya 

Sebagai seorang muslim, kita harus meyakini adanya kehidupan akhirat setelah kita dimatikan oleh Allah ta’ala di dunia ini. Allah berfirman, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” (QS. Al-Mukminun: 15-16)

Akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya. Artinya, kehidupan akhirat akan berlangsung abadi, kekal selamanya, tidak ada kematian setelahnya. Allah mencela orang-orang yang lebih mengutamakan dunia dan melalaikan akhirat dengan berfirman, “Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la: 16-17). Allah juga berfirman, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al-An’aam: 32)

Di akhirat nanti, ada 2 golongan yang sangat berbeda jauh keadaannya. Golongan yang bahagia berada di surga dan golongan yang sengsara terpuruk di neraka. Lalu, manakah yang akan kita pilih?

Dunia, Tempat  Berbekal Untuk Akhirat

Bekal yang terbaik adalah takwa, yaitu iman dan amal shalih. Maka dari itu, orang yang cerdas adalah orang yang mempersiapkan kehidupan setelah mati. Orang yang cerdas adalah orang yang mengutamakan kehidupan akhirat dengan mengambil bekal sebanyak-banyaknya di dunia ini. Apalah arti dunia? Hanya orang bodoh yang lebih mengutamakan kenikmatan yang fana, sedikit, dan sementara dibanding kenikmatan yang sempurna, kekal, selamanya. Semoga Allah memudahkan kita untuk mempersiapkan bekal untuk akhirat kita.

Terakhir, ada seorang alim yang masyur yaitu Ibnu al-Mubarak pernah berkata, “Puisi Adi ibn Zaid lebiha aku sukai dari istana Amir Thahir ibn al-Husein, jika memang istana itu milikku”. Puisi yang indah itu berbunyi demikian:

Wahai orang yang mencela dan menghina orang lain,
apakah kau lepas dari ujian dan cobaan?
Atau kau punya janji kuat dari hari-hari?
engkau adalah orang bodoh dan tertipu
 

Artinya: Wahai orang yang selalu menghina dan melecehkan orang lain, apakah Anda terikat janji untuk tidak terkena musibah seperti mereke? Ataukah hari-hari memberi jaminan untuk keselamatan Anda dari berbagai bencana dan cobaan? Lalu mengapa Anda selalu mencela?

Dalam sebuah hadits sahih disebutkan: “Seandainya dunia ini di sisi Allah sama nilainya dengan sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak akan pernah memberi minum seorang kafir walau seteguk air”. Menurut Allah, dunia tidak lebih berharga dari sayap seekor nyamuk. Inilah hakikat dunia, nilai dan timbangannya disisi Allah. Lalu mengapa harus takut dan resah karenanya?

Kebahagiaan adalah Anda merasa aman dengan diri, masa depan, keluarga, dan kehidupan Anda sendiri. Dan, semua ini terhimpun dalam keimanan, ridha kepada Allah, ridha terhadap ketentuan-Nya, dan qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada), karena kehidupan dunia ini tidak lebih dari pada seekor bangkai kambing.

Wallahu ta’ala a’lam.

Rujukan:

  • Tazkiyatun Nafs (Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Imam Al-Ghazali)
  • Kesempurnaan Pribadi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam (Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
  • Shaidul Khatir, Cara Manusia Cerdas Menang Dalam Hidup (Ibnul Jauzi)
  • La Tahzan-Jangan Bersedih (DR. ‘Aidh al-Qarni)

Pencetus Teori Relativitas, Bukan Einstein

Mungkin anda pernah mendengar istilah “Relativitas”, bagi anda yang pernah belajar Fisika pasti tau akan hal tersebut, bahkan pelajar-pelajar sekolah tingkat menengah pun mayoritas mengetahuinya atau paling tidak pernah mendengar istilah ini. Apa sebenarnya ‘kehebohan’ istilah ini sampai-sampai kita butuh sedikit waktu untuk membahasnya? Tulisan ini saya buat terkait dengan tulisan saya sebelumnya yang bertajuk “Teori Relativitas Einstein Dalam Al Qur’an?” yang saya upload 08-08-08 silam. Ada seorang teman yang bertanya, bukannya teori ini pernah ada sebelum Einstein? Olehnya itu kita perlu sedikit melihat ada fakta apa di balik teori relativitas ini?

Pada awal abad ke-20 M dunia sains modern dibuat takjub oleh sebuah penemuan seorang ilmuwan bernama Albert Einstein. Tepatnya tahun 1905 Fisikawan berkebangsaan Jerman itu mempublikasikan sebuah teori yang dikenal dengan istilah special relativity theory atau teori relativitas khusus. Satu dasawarsa kemudian, Einstein yang didaulat Majalah Time sebagai tokoh abad XX itu mencetuskan teori relativitas umum yang dikenal dengan general relativity theory.

Teori relativitas itu dirumuskannya  sebagai E= mc2.  Rumus teori relativitas yang begitu populer ini menyatakan kecepatan cahaya adalah konstan. Teori relativitas khusus yang dilontarkan Einstein berkaitan dengan materi dan cahaya yang bergerak dengan kecepatan sangat tinggi. Sedangkan, teori relativitas umum menyatakan, setiap benda bermassa menyebabkan ruang-waktu di sekitarnya melengkung (efek geodetic wrap). Melalui kedua teori relativitas itu Einstein menjelaskan bahwa gelombang elektromagnetis tidak sesuai dengan teori gerakan Newton. Gelombang elektromagnetis dibuktikan bergerak pada kecepatan yang  konstan, tanpa dipengaruhi gerakan sang pengamat, sehingga akhirnya teori ini dipercaya telah menggantikan pendapat Newton tentang ruang dan waktu kemudian memasukan elektromagnetisme sebagaimana tertulis oleh Persamaan Maxwell.

Inti pemikiran kedua teori tersebut menyatakan dua pengamat yang bergerak relatif terhadap masing-masing akan mendapatkan waktu dan interval ruang yang  berbeda untuk kejadian yang sama.  Meski begitu, isi hukum fisik akan terlihat sama oleh keduanya. Dengan ditemukannya teori relativitas, manusia bisa menjelaskan sifat-sifat materi dan struktur alam semesta.

Pada tanggal 4 Desember 1922 Einstein pernah menyampaikan kuliah umum di Kyoto Imperial University, dia mengatakan bahwa pertama kali mendapatkan ide untuk membangun teori relativitas  sekitar tahun lalu 1905, dia tidak dapat mengatakan secara eksak dari mana ide semacam ini muncul, namun yakin bahwa ide ini berasal dari masalah optik pada benda-benda yang bergerak.

Siapa Sebenarnya Pencetus Teori Relativitas?

Teori relativitas merupakan revolusi dari ilmu matematika dan fisika. Benarkah Einstein pencetus teori ini? Di dunia Barat sendiri ada yang meragukan kalau teori relativitas pertama kali ditemukan Einstein. Sebab, Ada yang berpendapat bahwa  Teori relativitas pertama kali diungkapkan oleh Galileo Galilei dalam karyanya bertajuk Dialogue Concerning the World’s Two Chief Systems pada tahun 1632.

Namun faktanya, 1100 tahun sebelum Einstein mencetuskan teori relativitas, Teori ini ternyata telah lama dicetuskan oleh saintis dan filosof legendaris Muslim di abad ke 9 Masehi. Dialah Abu Yusuf bin Ashaq al-Kindi atau di kenal dengan nama Al Kindus di dunia Barat.

Sesungguhnya tak mengejutkan jika ilmuwan besar sekaliber Al-Kindi telah mencetuskan teori itu pada abad ke-9 M.  Apalagi, ilmuwan keturunan Yaman yang lahir di Kufah tahun 185 H/796 M itu pasti sangat menguasai  kitab suci Al Qur’an.  Sebab, tak diragukan lagi jika ayat-ayat Al Qur’an mengandung pengetahuan yang absolut dan selalu menjadi kunci tabir misteri yang meliputi alam semesta raya ini.

Teori yang di gagas Einstein juga hampir sama. Ia menyatakan bahwa “Eksistensi-eksistensi dalam dunia ini terbatas, walaupun eksistensi itu sendiri tidak terbatas”. Tentu saja karena kedua ilmuwan ini hidup dan berkarya di zaman yang berbeda, maka temuan dari Einstein akan lebih mendetail dan dijelaskan dengan dukungan penelitian dan pengujian ilmiah. Bahkan telah terbukti dengan adanya ledakan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima. Namun yang jelas, ternyata teori relativitas yang di gagas oleh Albert Einstein pada abad ke 20 telah lebih dulu di temukan oleh Abu Yusuf bin Ashaq al-Kindi sekitar seribu seratus tahun sebelumnya.

Aya-ayat Al Qur’an yang begitu menakjubkan inilah yang mendorong para saintis Muslim di era keemasan mampu meletakkan dasar-dasar sains modern. Sayangnya, karya-karya  serta pemikiran para saintis Muslim dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah  ditutup-tutpi dengan cara-cara yang sangat jahat.

Dalam  Al-Falsafa al-Ula, Al-Kindi telah mengungkapkan dasar-dasar teori relativitas. Sayangnya, sangat sedikit umat Islam yang mengetahuinya. Sehingga, hasil pemikiran yang brilian dari era kekhalifahan Islam itu seperti tenggelam ditelan zaman begitu saja.

Menurut Al-Kindi, fisik bumi dan seluruh fenomena fisik adalah relatif. Relativitas adalah esensi dari hukum eksistensi. “Waktu, ruang, gerakan, benda semuanya relatif dan tak absolut,” Namun, ilmuwan Barat seperti Galileo, Descartes dan Newton menganggap semua fenomena itu sebagai sesuatu yang absolut. Hanya Einstein yang sepaham dengan Al-Kindi.

“Waktu hanya eksis dengan gerakan, benda dengan gerakan, gerakan dengan benda,” papar Al-Kindi. Selanjutnya, Al-Kindi berkata: ”jika ada gerakan, di sana perlu benda. Jika ada sebuah benda, di sana perlu gerakan.” Pernyataan Al-Kindi itu menegaskan bahwa seluruh fenomena fisik adalah relatif satu sama lain. Mereka tak independen dan tak juga absolut.

Gagasan yang dilontarkan Al-Kindi itu sangat sama dengan apa yang diungkapkan Einstein dalam teori relativitas umum. “Sebelum  teori relativitas dicetuskan, fisika klasik selalu menganggap bahwa waktu adalah absolute,” papar Einstein dalam La Relativite. Menurut Einstein, kenyataannya pendapat yang dilontarkan oleh Galileo, Descartes dan Newton itu  tak sesuai dengan definisi waktu yang sebenarnya.

Menurut Al-Kindi,  benda, waktu, gerakan dan ruang tak hanya relatif terhadap satu sama lain, namun juga  ke obyek lainnya dan pengamat yang memantau mereka. Pendapat Al-Kindi itu sama dengan apa yang diungkapkan Einstein.

Dalam  Al-Falsafa al-Ula, Al-Kindi mencontohkan seseorang yang melihat sebuah obyek yang ukurannya lebih kecil atau lebih besar menurut pergerakan vertikal antara bumi dan langit. Jika orang itu naik ke atas langit , dia  melihat pohon-pohon lebih kecil, jika dia  bergerak ke bumi, dia melihat pohon-pohon itu jadi lebih besar.

“Kita tak dapat mengatakan bahwa sesuatu itu kecil atau besar secara absolut. Tetapi kita dapat mengatakan itu lebih kecil atau lebih besar dalam hubungan kepada obyek yang lain,”  tutur Al-Kindi.   Kesimpulan yang sama diungkapkan Einsten sekitar 11 abad setelah  Al-Kindi wafat.

Menurut Einstein, tak ada hukum yang absolut dalam pengertian hukum tak terikat pada pengamat. Sebuah hukum, harus dibuktikan melalui pengukuran. Al-Kindi  menyatakan, seluruh fenomena fisik, seperti manusia menjadi dirinya adalah relatif dan terbatas.

Meski setiap individu manusia tak terbatas dalam jumlah dan keberlangsungan, mereka terbatas; waktu, gerakan, benda, ruang juga terbatas. Einstein lagi-lagi mengamini pernyataan Al-Kindi yang dilontarkannya pada abad ke-11 M. “Eksistensi dunia ini terbatas, meskipun eksistensi tak terbatas,” papar Einstein.

Dengan teori itu, Al-Kindi tak hanya mencoba menjelaskan seluruh fenomena fisik. Namun, juga dia membuktikan eksistensi Tuhan, karena itu adalah konsekuensi logis dari teorinya. Di akhir hayatnya, Einsten pun mengakui eksistensi Tuhan. Teori relativitas yang diungkapkan kedua ilmuwan berbeda zaman itu itu pada dasarnya sama. Hanya saja,  penjelasan Einstein telah dibuktikan dengan sangat teliti.

Bahkan, teori relativitasnya telah digunakan untuk pengembangan energi, bom atom dan senjata nuklir pemusnah massal. Sedangkan, Al-Kindi mengungkapkan teorinya itu untuk membuktikan eksistensi Tuhan dan Keesaan-Nya.  Sayangnya, pemikiran cemerlang sang saintis Muslim  tentang teori relativitas itu itu tidak dipopulerkan, bahkan di kalangan kaum muslimin sendiri hanya sedikit yang mengetahuinya.

Relativitas Dalam Al Qur’an

Sesungguhnya, konsep tentang relativitas ruang dan waktu ini sudah tidak asing lagi bagi kalangan ilmuwan Islam terdahulu. Karena di dalam Al Qur’an telah disebutkan berbagai ayat yang mengisyaratkan relatifnya ruang dan waktu. Alam semesta raya ini selalu diselimuti misteri. Kitab suci Al Qur’an yang diturunkan kepada umat manusia merupakan kuncinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan bahwa Al Qur’an merupakan petunjuk hidup bagi orang-orang yang bertakqwa.  Untuk membuka selimut misteri alam semesta itu, Sang Khalik memerintahkan agar manusia berpikir.

Inilah beberapa keajaiban ayat Al Qur’an yang membuktikan teori relativitas itu: “…. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun dari tahun-tahun yang kamu hitung.” (QS: Al-Hajj: 47).

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (Qs: As-Sajdah: 5).

“Yang datang dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (QS. Al Ma’aarij: 3-4).

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya. Padahal ia berjalan sebagaimana jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: An-Naml:88).

“Allah bertanya: ‘Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’ Mereka menjawab: ‘Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.’ Allah berfirman: ‘Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui’.” (QS. Al Mu’minuun: 112-114).

Sangat banyak ilmuan-ilmuan muslim dengan segala penemuan pentingnya yang mewarnai dunia ilmu pengetahuan hari ini, penemuan itu tentunya tak terlepas dari pemahaman mereka terhadap Al Qur’an yang memperkuat teori mereka. Tapi sayangnya fakta akan kecerdasan para ilmuan muslim melalui teorinya ‘dicontek’ oleh para ‘ilmuan’ barat. Sehingga sedikit demi sedikit nama ilmuan muslim tertelan oleh zaman modern, seiring munculnya ‘teori baru’ yang ‘katanya’ dipopolerkan oleh para orang-orang barat. Sehingga tanpa disadari kitapun menjadi pengagum dan penganut teorinya mereka.

Karena keajaiban Al Qur’an itu, Einstein pernah mengungkapkan kebenaran Al Qur’an dalam sebuah tulisannya: “Al Qur’an bukanlah buku seperti aljabar atau geometri. Namun, Al Qur’an adalah kumpulan aturan yang menuntun umat manusia ke jalan yang benar. Jalan yang tak dapat ditolak para filosof besar,” ungkap Einstein.

Oleh karena itu sudah sepantasnya kita menjadikan Al Qur’an sebagai pedoman hidup, siapapun kita, apapun profesi kita dan dimanapun kita berada, karena Al Qur’an adalah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan yang akan berlaku sampai akhir zaman.

Wallahu a’lam.

Semua Terjadi Karena Suatu Alasan

Sebuah Kisah Nyata Dari Frank Slazak

“Ketika kehidupan mengatakan TIDAK pada apa yang kita inginkan, Yakinlah bahwa Allah akan selalu berkata YA terhadap apa yang kita butuhkan”

Ini adalah bagian kecil dari kisah hidup seorang bernama Frank Slazak. Ia seorang guru yang punya impian bisa jadi astronot dan terbang ke luar angkasa. Namun, pada saat yang sama, ia juga sadar bahwa dirinya hanyalah seorang guru biasa. Bukan pilot, dan bahkan tak memiliki gelar. Akan tetapi itu tak menyurutkan harapannya akan impiannya untuk mengawang di luar angkasa. Maka, ketika Gedung Putih mengumumkan sedang mencari warga biasa yang akan diikut-sertakan dalam penerbangan 51-L pesawat ulang alik Challenger, Frank pun ikut melamar. Dan setelah itu, ia rajin berdoa – memohon agar dirinya diberi kesempatan meraih impiannya. Tuhan menjawab doanya dengan sebuah surat berlogo NASA yang datang kepadanya, yang memberitahukan bahwa dirinya diminta mengikuti seleksi.

Jalan menuju impian telah dibentangkan. Frank amat bersyukur dan bahkan makin giat berdoa. Dari 30 ribu pelamar, ia terpilih masuk ke dalam kelompok 10 ribu pelamar yang lolos saringan, dan terus lolos dari saringan-saringan hingga akhirnya masuk ke dalam kelompok 100 orang yang lulus seleksi akhir. Maka, berbagai simulator mulai dimasukinya. Uji klaustrofobi, latihan ketangkasan, percobaan mabuk udara, dan serangkaian tes lainnya harus diikutinya.

Doa Frank semakin tegas, “Tuhan, jadikanlah aku yang akan terpilih.” Dan Tuhan menjawab doanya dengan pengumuman NASA yang menyatakan bahwa yang terpilih untuk ikut dalam penerbangan 51-L pesawat ulang alik Challenger adalah Christina McAuliffe. Maka impian Frank Slazak bagaikan gelas kristal dibanting ke batu. Hancur berkeping. Ia merasa telah dikalahkan dengan begitu telak, sehingga merasa dirinya dan hatinya hancur lebur. Ia terhempas dalam depresi. Kepercayaan dirinya karam, dan amarah selalu membara di hati dan pikirannya.

Doanya pun kini telah berganti menjadi ungkapan kekecewaan, “Tuhan, mengapa bukan aku yang Kau biarkan terpilih itu? Mengapa Engkau berlaku tidak adil kepadaku? Mengapa Engkau begitu tega menyakiti hatiku?” Frank menangis di pangkuan ayahnya. Ia merasa remuk-redam. Sangat sedih dan amat kecewa. Dengan bijaksana, ayahnya menghiburnya, seraya memeluknya, “Anakku… semua terjadi karena satu alasan….”

Dan alasan itu terwujud pada Selasa, 28 Januari 1986. Saat itu, Frank dan teman-temannya berkumpul untuk menyaksikan peluncuran pesawat ruang angkasa Challenger. Saat pesawat melewati landasan pacu, Frank mengeluh dalam doanya, “Tuhan… padahal aku bersedia melakukan apa saja agar bisa berada di dalam pesawat itu. Tapi mengapa bukan aku yang terpilih untuk berada di sana sekarang ini?”

Tujuh puluh detik kemudian, Tuhan menjawab doanya dengan dentuman hebat di angkasa. Api terlontar ke segala penjuru. Seluruh mata yang menyaksikan peristiwa itu seketika terbelalak dengan hati tercekat. Pesawat ulang alik Challenger meledak dan menewaskan semua antariksawan yang ada di dalamnya. Frank terkesima dengan hati dan jantung tergugu. Maka terhapuslah keraguannya pada kuasa Tuhan.

“Ya Tuhan…!” Diaa merasa amat berdosa dan menyesal. Ia juga teringat pada perkataan ayahnya. “Anakku… semua terjadi karena satu alasan….” Dan sadarlah Frank Slazak, bahwa Tuhan telah mencegahnya terpilih dalam penerbangan itu – walaupun ia sangat menginginkannya, karena Dia memiliki alasan lain atas kehadirannya di muka bumi. Karena Tuhan telah memilih Frank untuk misi yang lain….

Kawan, Mungkin kita bisa mengambil hikmah dari kisah nyata tersebut, bahwa Allah mengabulkan doa kita dengan 3 cara:

  • Apabila Allah mengatakan YA, Maka kita akan mendapatkan apa yang kita minta.
  • Apabila Allah mengatakan TIDAK, Maka mungkin kita akan mendapatkan yang lain yang lebih sesuai untuk kita.
  • Apabila Allah mengatakan TUNGGU, Maka mungkin kita akan mendapatkan yang terbaik sesuai dengan kehendakNYA.

Sebagaimana yang Allah sebutkan dalam salah satu ayat Al Quran : ” Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 216).

Itulah Allah, Al Muqtadir, Dzat Yang Maha Menentukan. Seorang hamba tidak berkuasa menentukan apa yang diinginkannya kecuali dengan izin-Nya. Manusia berkeinginan, berencana, berikhtiar. Perkara “hasil” sepenuhnya mutlak di tangan Allah. Kita dituntut untuk berusaha mewujudkan keinginan dalam batas-batas yang dibenarkan. Tetapi pada saat yang sama, kita juga dituntut untuk bertawakal dan berserah diri kepada-Nya.

Maka, ketika kita gagal meraih keinginan, kita tidak boleh putus asa, berburuk sangka dan menafikan semua karunia-Nya. Karena kita hanya dituntut untuk melaksanakan kewajiban, dan selanjutnya hanya menanti hasilnya, sebagaimana kehendak dan ketetapan Allah yang telah tertulis dalam kitab Lauh Mahfudz.  Wallahu a’lam bish Shawaab

Semoga Bermanfaat…

Islam dan Meteorologi Modern

”Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang di angkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S. An Nahl: 79)

Surat An-Nahl ayat 79 di atas merupakan ayat yang paling terkait dengan atmosfer. Dalam ayat tersebut, terdapat kata jawwis samaa’i dimana jawwi berarti melindungi dan samaa’i berarti langit. Jadi, kata jawwis samaa’i berarti langit yang melindungi, yang dalam ayat tersebut diartikan sebagai angkasa bebas.

Kata ”burung” yang digunakan dalam ayat di atas, menunjukkan bahwa angkasa tersebut adalah batas tertinggi adanya kehidupan. Sebab burung tidak dapat terbang lebih tinggi dari jawwis samaa’i. Kata jawwis samaa’i ini juga diartikan sebagai ghilaful ardhil hawa’i atau penutup bumi yang masih terdapat hawa (udara yang digunakan untuk bernafas, oksigen).  

Jika dihubungkan dengan ilmu meteorologi, maka jawwis samaa’i dapat diartikan sebagai troposfer. Sebab troposfer merupakan lapisan atmosfer terendah yang masih mengandung oksigen dalam jumlah melimpah. Karena posisinya yang paling dekat dengan permukaan, maka densitas udara pada lapisan ini pun paling tinggi dibandingkan lapisan atmosfer lainnya. Gambar berikut menunjukkan lapisan atmosfer, gambar ini saya copy dari skripsi saya yang kebetulan mengangkat topik tentang meteorologi atau lebih khusus pada Rainfall Predictive Model.

Lapisan Atmosfer Bumi (Sumber: AF,2009)

Lapisan troposfer atau jawwis samaa’i ini berada pada level yang paling rendah, di mana lapisan ini berada antara permukaan bumi sampai ketinggian 8 km pada posisi kutub 18-19 km pada daerah ekuator. Pada lapisan ini suhu udara akan menurun dengan bertambahnya ketinggian. Di dalam lapisan ini, hampir semua jenis cuaca, perubahan suhu yang mendadak, tekanan udara dan kelembaban yang kita rasakan sehari-hari terjadi.

Ketinggian yang paling rendah adalah bagian yang paling hangat dari troposfer, karena permukaan bumi menyerap radiasi panas dari matahari dan menyalurkan panasnya ke udara. Daerah transisi antara lapisan troposfer dengan lapisan stratosfer disebut lapisan tropopause. Suhu yang sangat rendah pada lapisan tropopause menyebabkan uap air tidak dapat menembus lapisan atmosfer yang lebih tinggi, karena uap air akan segera mengalami kondensasi sebelum mencapai tropopause, kemudian jatuh kembali ke permukaan bumi dalam bentuk cair (hujan) atau padat (salju dan hujan es). Oleh karena itu di lapisan jawwis samaa’i inilah merupakan tempat terjadinya fenomena cuaca seperti hujan dan angin.

Dalam Al-Qur’an, fenomena cuaca dijelaskan dengan istilah yang berbeda-beda. Untuk angin kencang yang menyenangkan digunakan kata rih. Lalu kata jawwi untuk udara, dan hawa untuk udara yang bergerak. Khusus untuk hujan, proses terbentuknya diuraikan secara detailoleh Allah dalam Al Qur’an: ” Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan” (QS. An Nur: 43). Hal ini adalah salah satu isyarat ilmiah dari Al-Qur’an karena di Jazirah Arab hujan hanya turun 3 kali dalam setahun.

Isyarat ilmiah lain yang berkaitan dengan cuaca, dapat ditemukan dalam surat Ath-Thariq ayat 11: “Demi langit yang mengandung hujan” Dalam ayat tersebut digunakan kata Raj’i berarti kembali. Hujan dinamakan raj’i dalam ayat ini, karena hujan itu berasal dari uap yang naik dari bumi ke udara, kemudian turun ke bumi, kemudian kembali ke atas, dan dari atas kembali ke bumi dan begitulah seterusnya. Ilmu meteorologi telah menjelaskan bahwa hujan berasal dari uap air yang naik dari Bumi ke udara, kemudian kembali turun ke Bumi, naik lagi ke atas dan kembali lagi ke Bumi, seperti dalam gambar berikut yang saya ambil dari sumber yang sama yang saya istilahkan dengan Siklus Hidrologi.

Siklus Hidrologi (Sumber: AF,2009)

Air yang berada di permukaan bumi tidak semua terlibat secara aktif dalam siklus hidrologi. Pada suatu wilayah belum tentu terjadi siklus hidrologi secara aktif. Siklus ini memerlukan energi panas dan kelembaban yang cukup. Di daerah tropis siklus hidrologi terjadi secara aktif dan presipitasi dalam bentuk curah hujan yang di terima lebih besar dari evaporasi. Di daerah gurun, energi mencukupi tetapi kelembaban kurang, evaporasi selalu terjadi setiap saat bila air tersedia tetapi presipitasi sangat jarang sehingga siklus hidrologi menjadi pasif.

Air dalam siklus hidrologi, mengalami perubahan bentuk dari cair ke gas dan kembali ke bentuk cair, terkadang juga air berubah ke bentuk padat. Perubahan air ke bentuk padat dalam siklus hidrologi terjadi jika butiran air tersebut berada pada udara yang sangat dingin atau di bawah titik beku air. Perubahan ke bentuk padat ini dapat terjadi pada lapisan atas troposfer atau pada permukaan bumi, terutama pada wilayah kutub utara dan selatan, juga dapat terjadi pada tempat-tempat yang tinggi (7500 m di atas permukaan laut) pada daerah tropis.

Informasi mengenai lapisan atmosfer dan fenomena cuaca ternyata telah diberikan Al-Qur’an sejak 14 abad lebih yang lalu. Informasi ini baru dapat kita pahami setelah munculnya ilmu  meteorologi modern. Namun, di luar isyarat-isyarat ilmiah ini, ada satu hal yang perlu kita perhatikan. Setiap kali sebuah ayat Al-Qur’an membahas ciptaan Allah, ia selalu disertai dengan pertanyaan tentang Allah. Artinya, semua yang diciptakan-Nya telah diatur sedemikian rupa, dan tidak ada kekuatan lain yang mampu mengubahnya selain Allah Subhanahu wa Ta’alaWallahu a’lam bisshowab.

Menjaga Diri dari Yang Haram (Kisah Romantis)

Seorang lelaki yang saleh bernama Tsabit bin Ibrahim sedang berjalan di pinggiran kota Kufah. Tiba-tiba dia melihat Sebuah apel jatuh keluar pagar sebuah kebun buah-buahan. Melihat apel yang merah ranum itu tergeletak di tanah membuat air liur Tsabit terbit, apalagi di hari yang panas dan tengah kehausan. Maka tanpa berpikir panjang dipungut dan dimakannyalah buah apel yang lezat itu. akan tetapi baru setengahnya di makan dia teringat bahwa buah itu bukan miliknya dan dia belum mendapat ijin pemiliknya.
 
Maka ia segera pergi kedalam kebun buah-buahan itu hendak menemui pemiliknya agar menghalalkan buah yang telah dimakannya. Di kebun itu ia bertemu dengan seorang lelaki. Maka langsung saja dia berkata, “Aku sudah makan setengah dari buah apel ini. Aku berharap Anda menghalalkannya”. Orang itu menjawab, “Aku bukan pemilik kebun ini. Aku Khadam (pembantu)-nya yang ditugaskan merawat dan mengurusi kebunnya”.
 
Dengan nada menyesal Tsabit bertanya lagi, “Dimana rumah pemiliknya? Aku akan menemuinya dan minta agar dihalalkan apel yang telah kumakan ini.” Pengurus kebun itu memberitahukan, “Apabila engkau ingin pergi kesana maka engkau harus menempuh perjalan sehari semalam”.
 
Tsabit bin Ibrahim bertekad akan pergi menemui si pemilik kebun itu. Katanya kepada orang tua itu, “Tidak mengapa. Aku akan tetap pergi menemuinya, meskipun rumahnya jauh. Aku telah memakan apel yang tidak halal bagiku karena tanpa seijin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam sudah memperingatkan kita lewat sabdanya : “Siapa yang tubuhnya tumbuh dari yang haram, maka ia lebih layak menjadi umpan api neraka”
 
Tsabit pergi juga ke rumah pemilik kebun itu, dan setiba di sana dia langsung mengetuk pintu. Setelah si pemilik rumah membukakan pintu, Tsabit langsung memberi salam dengan sopan, seraya berkata,” Wahai tuan yang pemurah, saya sudah terlanjur makan setengah dari buah apel tuan yang jatuh ke luar kebun tuan. Karena itu maukah tuan menghalalkan apa yang sudah kumakan itu ?”
 
Lelaki tua yang ada dihadapan Tsabit mengamatinya dengan cermat. Lalu dia berkata tiba-tiba, “Tidak, aku tidak bisa menghalalkannya kecuali dengan satu syarat.” Tsabit merasa khawatir dengan syarat itu karena takut ia tidak bisa memenuhinya. Maka segera ia bertanya, “Apa syarat itu tuan ?” Orang itu menjawab, “Engkau harus mengawini putriku !”
Tsabit bin Ibrahim tidak memahami apa maksud dan tujuan lelaki itu, maka dia berkata, “Apakah karena hanya aku makan setengah buah apelmu yang keluar dari kebunmu, aku harus mengawini putrimu ?”
 
Tetapi pemilik kebun itu tidak menggubris pertanyaan Tsabit. Ia malah menambahkan, katanya, “Sebelum pernikahan dimulai engkau harus tahu dulu kekurangan-kekurangan putriku itu. Dia seorang yang buta, bisu, dan tuli. Lebih dari itu ia juga seorang yang lumpuh!”
 
Tsabit amat terkejut dengan keterangan si pemilik kebun. Dia berpikir dalam hatinya, apakah perempuan seperti itu patut dia persunting sebagai istri gara-gara setengah buah apel yang tidak dihalalkan kepadanya? Kemudian pemilik kebun itu menyatakan lagi, “Selain syarat itu aku tidak bisa menghalalkan apa yang telah kau makan !”
 
Namun Tsabit kemudian menjawab dengan mantap, “Aku akan menerima pinangannya dan perkawinanya. Aku telah bertekad akan mengadakan transaksi dengan Allah Rabbul ‘alamin. Untuk itu aku akan memenuhi kewajiban-kewajiban dan hak-hakku kepadanya karena aku amat berharap Allah selalu meridhaiku dan mudah-mudahan aku dapat meningkatkan kebaikan-kebaikanku di sisi Allah Ta’ala”.
Maka pernikahan pun dilaksanakan. Pemilik kebun itu menghadirkan dua saksi yang akan menyaksikan akad nikah mereka. Sesudah perkawinan usai, Tsabit dipersilahkan masuk menemui istrinya. Sewaktu Tsabit hendak masuk kamar pengantin, dia berpikir akan tetap mengucapkan salam walaupun istrinya tuli dan bisu, karena bukankah malaikat Allah yang berkeliaran dalam rumahnya tentu tidak tuli dan bisu juga. Maka iapun mengucapkan salam ,”Assalamu’alaikum…”
 
Tak dinyana sama sekali wanita yang ada dihadapannya dan kini resmi jadi istrinya itu menjawab salamnya dengan baik. Ketika Tsabit masuk hendak menghampiri wanita itu, dia mengulurkan tangan untuk menyambut tangannya . Sekali lagi Tsabit terkejut karena wanita yang kini menjadi istrinya itu menyambut uluran tangannya.
 
Tsabit sempat terhentak menyaksikan kenyataan ini. “Kata ayahnya dia wanita tuli dan bisu tetapi ternyata dia menyambut salamnya dengan baik. Jika demikian berarti wanita yang ada dihadapanku ini dapat mendengar dan tidak bisu. Ayahnya juga mengatakan bahwa dia buta dan lumpuh tetapi ternyata dia menyambut kedatanganku dengan ramah dan mengulurkan tangan dengan mesra pula”, Kata Tsabit dalam hatinya. Tsabit berpikir, mengapa ayahnya menyampaikan berita-berita yang bertentangan dengan yang sebenarnya ?
 
Setelah Tsabit duduk di samping istrinya, dia bertanya, “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa engkau buta . Mengapa ?” Wanita itu kemudian berkata, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah”.
Tsabit bertanya lagi, “Ayahmu juga mengatakan bahwa engkau tuli. Mengapa?”
Wanita itu menjawab, “Ayahku benar, karena aku tidak pernah mau mendengar berita dan cerita orang yang tidak membuat ridha Allah. Ayahku juga mengatakan kepadamu bahwa aku bisu dan lumpuh, bukan ?” Tanya wanita itu kepada Tsabit yang kini sah menjadi suaminya. Tsabit mengangguk perlahan mengiyakan pertanyaan istrinya. Selanjutnya wanita itu berkata, “aku dikatakan bisu karena dalam banyak hal aku hanya menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah Ta’ala saja. Aku juga dikatakan lumpuh karena kakiku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang bisa menimbulkan kegusaran Allah Ta’ala”.
 
Tsabit amat bahagia mendapatkan istri yang ternyata amat saleh dan wanita yang memelihara dirinya dan wanita tercantik. Dengan bangga ia berkata tentang istrinya, “Ketika kulihat wajahnya… Subhanallah , dia bagaikan bulan purnama di malam yang gelap”.
 
Tsabit dan istrinya yang salihah dan cantik itu hidup rukun dan berbahagia. Tidak lama kemudian mereka dikaruniai seorang putra yang ilmunya memancarkan hikmah ke seluruh penjuru dunia. Itulah Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit.

Islam, The Best Way of Life

It’s a must that we strive to know Islam. Allah’s  Messenger sallallâhu ‘alaihi wasallam (May the peace and blessing of Allah be upon him) to the whole mankind encourages us to acquire knowledge of Islam in order to comprehend it.  He  says in the following authentic Al hadith: Abu Hurairah  radhiallâhu anhu (May Allah be pleased with him) narrated that, the Prophet sallallâhu ‘alaihi wasallam said, “Those who were the best in the pre-lslamic period of ignorance will be the best in Islam provided they comprehend the religious knowledge.”   (Bukhâri and Muslim)

‘Abdur Rahmân ibn Abi Bakrah radhiallâhu anhu narrated on the authority of his father that the Prophet sallallâhu ‘alaihi wasallam said: “If Allâh wants to do good to a person, he makes him comprehend the religion; and of course knowledge is attained by learning.” (Bukhâri)

Mu‘awiyah ibn Abi Sufyân narrated that Allâh’s  Messenger  said, “Goodness is a (natural) habit while the evil is a stubbornness. To whomsoever Allâh wills to show goodness, He favors him with the understanding in the Religion.” (Ibn Mâjah)

When we study Islam or at least read the Qur’an and the authentic Al hâdith we learn that Islam is easy, complete and the perfect religion as well as way of life for the whole mankind. We read in the Qur’an and the Al hâdith the following unique features of Islam:

1. Islam is Easy

“But whoever believes and works righteousness he shall have a goodly reward and easy will be his task as We order it by Our command.” (Qur’an, Al Kahf: 88)

Abu Hurairah radhiallâhu anhu narrated that the Prophet sallallâhu ‘alaihi wasallam said, “Religion (Islam) is very easy and whoever overburdens himself in his religion will not be able to continue in that way. So you should not be extremists, but try to be near to perfection and receive the good tidings that you will be rewarded; and gain strength by offering the prayers in the mornings, afternoons and during the last hours of the nights.” (Bukhâri)

Anas bin Malik radhiallâhu anhu narrated that the Prophet sallallâhu ‘alaihi wasallam said, “Make things easy for the people, and do not make it difficult for them, and make them calm (with glad tidings) and do not repulse (them).” (Bukhâri)

2. Islam is Complete

“…He it is Who has sent unto you the Book, explained in detail. They know full well, to whom We have given the Book, that it has been sent down from your Rabb in truth. Never be then of those who doubt.” (Qur’an, Al An’am: 114)

“For We had certainly sent unto them a Book based on knowledge, which We explained in detail a guide and a mercy to all who believe.” (Qur’an, Al A’raf: 52)  

“…(This is ) a Book with verses basic or fundamental (of established meaning) -further explained in detail -from One Who is Wise and Well-Acquainted (with all things).” (Qur’an, Huud: 1)

3. Islam is Perfect

“…This day have I perfected your religion for you, completed My favor upon you, and have chosen for you Islam  as your religion.”  (Qur’an, Al Ma’idah: 3)

As the  perfect religion, Islam teaches mankind how to attain success in the most perfect way.  The following are some of the Al hâdith that serve as enlightenment and guidance to those who desire for perfection: Abu Hurairah  radhiallâhu anhu narrated that the Prophet sallallâhu ‘alaihi wasallam said, “Goodness and comfort are for him who worships his Rabb in a perfect manner and serves his master sincerely.” (Bukhari)

Ibn Umar radhiallâhu anhu narrated that Allâh’s Messenger sallallâhu ‘alaihi wasallam said: “If a slave is honest and faithful to his master and worships his Rabb (Allâh) in a perfect manner, he will get a double reward.” (Bukhari)

Abu Hurairah radhiallâhu anhu narrated that the Prophet sallallâhu ‘alaihi wasallam said: “Whoever believes in Allâh and His Messenger, offers prayers perfectly and fasts (the month of) Ramadan then it is incumbent upon Allâh to admit him into Paradise, whether he emigrates for Allâh’s cause or stays in the land where he was born.” They (the companions of the Prophet sallallâhu ‘alaihi wasallam said: “O Allâh’s Messenger  sallallâhu ‘alaihi wasallam! Should we not inform the people of that?” He said, “There are one-hundred degrees in Paradise which Allâh has prepared for those who carry on Jihad in His Cause. The distance between every two degrees is like the distance between the sky and the Earth.  So if you ask Allâh for anything, ask Him for the Firdaus, for it is the last part of Paradise and the highest part of Paradise, and at its top there is the Throne of Beneficent, and from it gush forth the rivers of Paradise.”  (Bukhari)

Abdullah ibn Hisham radhiallâhu anhu narrated: “We were with the Prophet sallallâhu ‘alaihi wasallam and he was holding the hand of ‘Umar bin Al-Khattab. ‘Umar said to Him, “O Allâh’s Messenger! You are dearer to me than everything except my own self.” The Prophet   sallallâhu ‘alaihi wasallam said: “No, by Him in Whose Hand my soul is, (you will not have complete or perfect faith) till I am dearer to you than your own self.” Then ‘Umar said to him, “However, now, by Allâh, you are dearer to me than my own self.” The Prophet sallallâhu ‘alaihi wasallam said: “Now, O ‘Umar, you are a believer.” (Bukhari)

Abu Hurairah radhiallâhu anhu narrated that the Prophet sallallâhu ‘alaihi wasallam said: “The most perfect believer in respect of faith is he who is best of them in manners.” (Abu Dawud)

Abu Hurairah radhiallâhu anhu narrated that the Prophet sallallâhu ‘alaihi wasallam said: “Among the Muslims the most perfect, as regards his faith, is the one whose character is excellent, and the best among you are those who treat their wives well.”  (Tirmidhi and Abu Dawud)

Aishah radhiallâhu anha (May Allah be pleased with her) narrated that Allâh’s Messenger sallallâhu ‘alaihi wasallam said: “Among the believers who show most perfect faith are those who have the best disposition, and are kindest to their families.” (Tirmidhi 3263)

All the above Prophetic teachings in addition to the Qur’anic Ayât (Verses) earlier quoted clearly tell us that indeed, Islam is the perfect religion and hence the best way of life for all.  Islam as a universal religion is Allah’s Blessing and Mercy  for all of us.   It is for us to enjoy it and be successful in the eternal world to come.  The best way to attain success through Islam is to learn it according to its authentic Sources.  That is, to acquire knowledge of Islam  through the Qur’an and the Sunnah and the right deductions from these revealed Sources of Knowledge and Guidance.

Since Allah Subhanahu wa ta’ala is the One Who gives guidance, earnestly ask Him for authentic Islamic knowledge.  We must seek His help and guidance to be able to apply such knowledge and share them to others – all for His Pleasure.  May our Rabb (Cherisher and Sustainer) increase our knowledge of Islam and enjoy the best life of being true Muslims forever.  Amiin.

Wallahu a’lam bish shawaab