Arsip Blog

Pesta Demokrasi Dan Wacana Perubahan

Indonesia pada dasarnya memiliki modal yang diperlukan untuk sebuah eksistensi, kepemimpinan dan kejayaan. Bukan hanya karena moralitas bangsa dan kekokohan nilai-nilai luhur dan religius yang tiada lekang oleh waktu dan perubahan, namun juga karena kesesuaian nilai itu sendiri dengan fitrah manusia.

Pesta demokrasi, dimana masyarakat indonesia dihadapkan pada beberapa pilihan, mereka cenderung bersikap ekstrim: sangat ke kanan atau sangat ke kiri. Sedikit saja yang mencoba melirik sisa-sisa nilai luhur dan religius bangsa ini. Padahal dalam banyak hal, wacana inilah yang akan menuntun Indonesia menuju perubahan.

Di hadapan realita perubahan sebagian manusia memilih menjadi kaum status quo; menolak apapun yang berbau perubahan, sedikit atau banyak. Di sisi lain, para elite politik masa kini justru sangat bersemangat mengusung bendera perubahan. Kaum ‘pembaharu’ ini meneriakkan ide revolusi tiada henti. Dengan “pedang terhunus” mereka membabat atribut-atribut kemapanan sambil bersenandung, mengutip ungkapan filsuf Yunani, “Segala sesuatu berubah, kecuali perubahan itu sendiri.”

Para elite politik yang hadir menwarkan visi dan misi perubahan kepada rakyat tidak sedikit mengundang pertentangan di kalangan mereka. Di satu sisi para pendukung partai tertentu membela mati-matian agar partainya dapat meraih suara terbanyak saat pesta demokrasi. Di sisi lain muncul perdebatan dan saling menghujat di kalangan para elite politik, bahkan beberapa waktu lalu sempat terjadi kericuhan salah satu partai besar di negeri kita . Sebagai masyarakat ‘bawah’ tentu prihatin mengingat para elite politik itu mayoritasnya adalah tokoh-tokoh papan atas di kancah perpolitikan yang akan menjadi agen of change.

Konflik di kalangan elite politik dalam demokrasi seperti sekarang ini, paling tidak disebabkan oleh tiga faktor,Pertama, Perebutan kekuasaan. Sesuai dengan definisi politik yang dikembangkan dalam wacana sistem pemerintahan demokrasi, yakni politik adalah upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan, (lihat Miriam BudiharjoDasar-dasar Ilmu Politik) maka perebutan kekuasaan menjadi hal yang niscaya laksana perebutan gelar juara dalam pertandingan tinju. Upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan inilah yang kemudian melahirkan strategi dan taktik yang tidak sepi dari rekayasa, tipuan, bahkan fitnah dan tidak jarang menghasilkan konflik yang fatal dan dendam kesumat berkepanjangan.

Kedua, tidak saling percaya. Akibat salah mendefinisikan politik sebagai upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan, maka tidak jarang terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Bahkan pameo bahwa “kekuasaan cenderung korup” dan “kekuasaan mutlak pasti korupnya” seakan telah menjadi aksioma yang tak boleh dibantah. Akibatnya, selalu ada kecurigaan dan rasa tidak saling percaya di antara para pelaku politik. Logika yang dikembangkannya pun menjadi salah kaprah. Setiap kritik dan koreksi terhadap penguasa dilihat sebagai upaya menjegal penguasa. Sebaliknya, setiap penjelasan dari penguasa akan dilihat sebagai sekedar upaya mempertahankan kekuasaan.

Ketiga, ngotot dan merasa benar sendiri lantaran sikap demi kepentingan kelompok dan tiadanya tolok ukur yang baku dalam menilai permasalahan. Jika kedua faktor sumber konflik di atas dikelola dengan pedoman dan tolok ukur baku yang dipercayai semua pihak, mengurangi bahkan menghentikan konflik masih dimungkinkan. Namun jika kehidupan politik tanpa tolok ukur yang baku, maka konflik cenderung timbul terus bahkan sangat mungkin berkepanjangan. Demokrasi sendiri sebagai sebuah sistem politik tidak memiliki tolok ukur yang baku dalam menyelesaikan konflik. Keputusan selalu diambil dengan suara terbanyak (mayoritas) baik mutlak maupun relatif, sementara mayoritas suara itu sendiri justru bersifat relatif dan mudah berubah. Dalam Islam tolok ukur untuk mengatasi perkara perselisihan antara satu pihak dengan pihak lain telah jelas, yakni Al Qur’an dan Sunnah yang jelas merupakan wahyu Allah, satu-satunya sumber kebenaran. Allah berfirman dalam QS. An Nisa 59: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemimpin di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).”

Pertikaian yang tiada henti dipertontonkan oleh para calon wakil rakyat di arena politik, sedikit banyak telah memberi kesempatan kepada kita untuk singgah sejenak mengendapkan ide, mengumpulkan tenaga, membina rencana serta “menanam” akar ide itu menjadi pohon kenyataan.

Di sinilah kita menemukan suatu pelajaran yang sangat berharga bahwa pesta demokrasi (pemilu) bukanlah suatu jalan menuju perubahan, tetapi perubahan itu akan terwujud melalui pembinaan moral masyarakat sebuah bangsa yang dikenal dengan istilah ‘Dakwah dan Tarbiyah’. Nilai Agama (baca: Islam) akan selalu sesuai dengan fitrah manusia dengan melestarikan hal-hal prinsipil yang baku, teguh, tak bisa berubah oleh alasan apapun, walau langit runtuh seluruhnya. Namun di sisi lain, Islam membuka diri terhadap perubahan-perubahan, selaras kemajuan budaya dan dinamika hidup manusia.

Di sisi lain perubahan dan kemajuan bangsa tidak akan terlahir dari ide statisme yang meyakini bahwa kehidupan ini baku, tetap, berhenti dan tiada toleransi walau sejengkal pun untuk perubahan adalah wujud kekalahan sejarah yang patut ditangisi selama kita masih memiliki air mata. Bagaimana mungkin orang bisa percaya kepada warisan nenek moyang lalu menceburkan diri dalam kematian nalar dan kreativitas? Begitu pula dengan kaum revolusioner sejati yang menolak apapun yang bersifat tetap, stabil dan baku. mereka adalah kalangan yang layak dipertanyakan nalar kritisnya. Kita memahami bahwa sebuah eksistensi tidak akan muncul kecuali melalui proses.

Sebgai warga Negara yang mendambakan suatu perubahan harus mengingat bahwa pemilu bukanlah jalan ‘mutlak’  menuju perubahan tapi marilah kita mengambil sesuatu yang terbaik dari pesta demokrasi saat ini dengan bercermin pada peristiwa-peristiwa yang terbaik di masa lalu. Teringat sebuah prinsip indah yang dikemukakan oleh para ulama, “Melestarikan hal-hal yang baik dari masa lalu serta mengambil yang terbaik dari masa kini.”

Olehnya itu di antara sederetan calon anggota legislatif yang menjamur di negeri ini dengan segudang janji-janji “manis’nya, kita harus mencari sosok pemimpin yang mampu mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik, dan inilah saatnya untuk mengakhiri riwayat kepimimpinan para pemimpin dan wakil rakyat yang selalu setia dengan kemungkaran-kemungkarannya. Imam Nawawi pernah mengingatkan: “Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang pemimpin lalu menunjukkan sikap rela, setuju atau mengikuti kemungkaran tersebut maka ia telah berdosa.” Wallahu a’lam

*Tulisan ini pernah dimuat di salah satu media cetak harian di Indonesia